Partnerbhayangkara-Kupang – Eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widaya Dharma Lukman Sumaatmadja, S.I.K alias Fajar dijatuhi hukuman 19 tahun penjara oleh Majelis Hakim. Denda Rp 5 milyar dengan subsider 1,5 tahun, membayar restitusi Rp300 juta lebih dengan subsider 1 tahun penjara. Terdakwa Fajar dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan seksual kepada anak.
Pembacaan putusan dilakukan di Pengadilan Negeri Kupang, Selasa (21/10/2025).
Putusan dibacakan secara bergantian oleh Majelis Hakim. Dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim A. A. GD. Agung Parnata, S.H., C.N, dilanjutkan hakim Putu Dima, SH dan hakim Sisera Semida Naomi Nenoh Ayfeto, SH.
Sementara hadir tim JPU gabungan dari Kejaksaan Tinggi NTT dan Kejaksaan Negeri Kota Kupang, yang terdiri dari Arwin Adinata (Koordinator Kejati NTT), Sunoto, Putu Andy Sutadharma, dan Kadek Widiantari.
Terdakwa Fajar didampingi Tim Penasehat Hukumnya Akhmad Bumi, SH, Nikolas Ke Lomi, SH, Andi Alamsyah, SH dan Reno Nurjali Junaedy, SH.
Diluar Pengadilan, dilakukan aksi demonstrasi oleh Solidaritas Anti Kekerasan pada Diskriminasi pada Kelompok Minoritas dan Rentan (Saksi Minor) dengan membakar ban bekas.
Akhmad Bumi usai persidangan kepada media ini menyatakan menghormati putusan yang dijatuhi oleh Majelis Hakim kepada terdakwa Fajar.
“Kami menghormati putusan yang dijatuhi oleh Majelis Hakim, kita diberi waktu tujuh hari untuk pikir-pikir apakah banding atau tidak”, jelas Akhmad Bumi.
Selain menghormati putusan yang dijatuhi Majelis Hakim, Akhmad Bumi menyatakan dengan putusan itu, sekarang anak-anak boleh dengan bebas dan leluasa menawarkan diri, hukum memberi ruang untuk itu.
”Sekalipun anak-anak menawarkan diri, anak-anak tidak dianggap sebagai pelaku untuk dibina di Lapas anak sesuai UU Peradilan Pidana Anak, tapi dianggap sebagai korban yang harus dilindungi sekalipun mereka menawarkan diri melalui aplikasi online”, jelasnya.
Ia menjelaskan dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012, SPPA), ada istilah anak yang berhadapan dengan hukum.
“Ada tiga kategori anak dalam konteks ini sebut Akhmad Bumi, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana dan anak sebagai saksi tindak pidana”, jelasnya.
Ketika anak itu bersentuhan dengan hukum, itu bisa berarti anak sebagai pelaku (tersangka/terdakwa), atau korban, atau saksi.
Olehnya ada konteks pembinaan pada Lapas anak ketika anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang diduga melakukan tindak pidana.
Lanjutnya, mengapa ada Lembaga Pemasyarakatan Anak (Lapas Anak)? Lapas anak disediakan bukan untuk menghukum seperti orang dewasa, melainkan untuk mendidik dan membina anak.
Tujuannya mengubah perilaku anak, memberikan pendidikan formal dan keterampilan, serta menyiapkan reintegrasi sosial.
Lapas Anak itu sebetulnya bentuk terakhir (red, ultimum remedium), setelah semua alternatif seperti diversi (penyelesaian di luar pengadilan) tidak bisa dilakukan.
Ada perdebatan hukum, apa anak bisa disebut pelaku tindak pidana?
Dalam kasus terdakwa Fajar ini, seolah istilah anak sebagai pelaku tindak pidana dianggap begitu problem, padahal ada disebut dalam UU Peradilan Pidana Anak.
”Kalau Fajar tertarik seksual dengan anak, bisa diduga mengidap pedofilia, atau orang yang cacat jiwa. Kalau anak yang belum cukup umur, atau belum sampai puber tapi telah tertarik dengan seksual atau tertarik seksual dengan orang dewasa, itu disebut apa?”, tanya Akhmad Bumi.
Ada anak yang menawarkan pada orang dewasa, atau anak dengan anak, atau antar anak sesama jenis. Jika itu ada, apa bukan disebut pelaku yang sedang bersentuhan dengan hukum? tanya Akhmad Bumi.
Di kota Kupang sebut Akhmad Bumi dengan mengutip pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Kota Kupang, Jems Bore disalah satu Podcast menyebutkan ada 2.539 orang terinfeksi HIV. Januari sampai September 2025 ada 169 kasus baru. 30% diantaranya homoseksual (sesama jenis). 8 SMP dikota Kupang terpapar prostitusi online.
”Kalau anak menawarkan diri melalui aplikasi online, kemudian hukum memberi ruang itu kepada anak-anak tanpa pembinaan, ini sama dengan kita memberi ruang sebebas-bebasnya kepada anak untuk berada diruang gelap”, tandasnya.
Bagaimana kalau anak dengan anak? Sama-sama belum cukup umur, belum memiliki tanggung jawab, dan belum siap secara mental tapi telah berada diruang gelap itu. Apa mereka dianggap pelaku atau korban jika melakukan hubungan seksual?, tanya Akhmad Bumi.
(Red)