Partnerbhayangkara-Garut – Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) di Daerah Irigasi Cipasarangan, Desa Karangsari, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, menuai sorotan. Proyek senilai Rp195 juta yang ditujukan untuk meningkatkan sarana irigasi sekaligus memberdayakan masyarakat setempat, diduga menjadi lahan basah untuk meraup keuntungan.
Pantauan di lapangan, pekerjaan dimulai dengan memplester bangunan irigasi lama sepanjang kurang lebih 50 meter. Praktik tersebut disinyalir dilakukan seolah-olah bangunan yang ada merupakan hasil pembangunan baru.
Selain itu, informasi yang dihimpun menyebutkan proyek tersebut justru diborongkan kepada pihak luar kecamatan dengan nilai sekitar Rp35 juta. Padahal, mekanisme resmi P3-TGAI mewajibkan pengerjaan dilakukan melalui Padat Karya Tunai (PKT) yang melibatkan warga setempat.
Dalam aturan program, minimal 30 persen dari total anggaran harus dialokasikan untuk Harian Orang Kerja (HOK) yang dikerjakan oleh masyarakat sekitar. Dari total anggaran Rp195 juta, sekitar Rp58 juta seharusnya menjadi hak pekerja lokal.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Maskan, warga Kecamatan Bungbulang yang turut mengerjakan proyek tersebut, mengaku hanya menjalankan pekerjaan sesuai arahan kelompok.
“Saya hanya melaksanakan pekerjaan borongan sesuai petunjuk kelompok, soal pengadaan saya tidak tahu. Hanya kerja HOK saja,” ujar Maskan saat ditemui wartawan di lokasi irigasi, Senin (1/9).
Pemakaian batu bulat untuk irigasi tersebut juga dinilai tidak sesuai spesifikasi teknis dan konstruksi bangunan irigasi.
Kondisi ini juga disoroti sebagai akibat lemahnya pengawasan dari Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) maupun instansi terkait. Minimnya kontrol dinilai membuka celah terjadinya praktik penyimpangan di lapangan.
Hingga berita ini diturunkan, Ketua Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) Desa Karangsari, Usup, belum berhasil dimintai keterangan. Media ini juga masih berupaya mendapatkan klarifikasi dari pihak TPM maupun dinas terkait, seperti BBWS Cimanuk-Cisanggarung dan Dinas PUPR Garut, guna memastikan kejelasan persoalan tersebut.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan P3-TGAI di daerah. Program yang sejatinya diharapkan membawa manfaat langsung bagi petani lokal, justru rawan diselewengkan menjadi ajang untuk mencari keuntungan pribadi.
(Rudi Sanjaya)